The Latest

Pada tahun 1998 Gelombang demonstrasi dari hari ke hari telah melahirkan istilah “reformasi” diberbagai lini, terutama dalam pemerintahan. Soeharto yang kala itu menjadi simbol pembajak demokrasi melalui kekuatan subversifnya selama tiga puluh dua tahun harus bertekuk lutut pada kekuatan rakyat yang dulunya diinjak-injak.

Lahirlah reformasi yang diharapkan menjadi orang tua dari demokrasi dan pemerintahan yang bebas korupsi. Karena sebelumnya, sistem kenegaraan dan kepemimpinan orde baru hanya mampu melahirkan demokrasi yang prematur, tidak sehat lalu berakibat pada kematian yang mengenaskan.

Akibat kematian demokrasi pada masa orde baru, pemerintah masa itu menjadi penguasa tunggal tanpa kontrol dari rakyat sebagai jasad demokrasi. Maka terjadilah apa yang difirmankan Lord Acton, guru besar sejarah modern Universitas Cambridge Inggris abad 19, kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut (absolute power corrupt absolutely).

Bergulirlah demokratisasi yang bisa dimaknai sebagai perawatan demokratisasi yang lahir dalam keadaan prematur. Perawatan tidak berjalan maksimal. “Demokrasi tetap sakit” dengan berbagai bukti konkrit seperti masyarakat yang hanya dijadikan penonton dalam berbagai kebijakan pemerintahan, tanpa kekutan untukmerumuskan kebijakan pemerintahan yang sesuai dengan kepentingan rakyat secara keseluruhan.         

Mungkin, demonstrasi pada tahun 1998 hanya melahirkan “istilah reformasi” dan reformasi ternyata juga ‘sukses’ membuat “istilah demokrasi.” Kedua istilah itu tumbuh subur dan sering diucapkan orang-orang dari banyak kalangan.

Namun, istilah hanyalah istilah, hanya sekedar penamaan saja.  What’s in a name? That we call a rose by any other name would smell as sweet (Apalah arti sebuah nama? Meskipun kita menyebut mawar dengan nama lain, wanginya akan tetap harum,"), kata William Shakespeare.

Begitulah istilah reformasi dan demokrasi di negri ini. Meski mengklaim sebagai negara demokratis setalah melakukan reformasi, hal tersebut hanyalah sekedar penamaan yang miskin pemaknaan: ”Apalah arti sebutan negara demokratis jika roh demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat menjadi dari rakyat oleh pejabat dan untuk pejabat!”

Realita pemerintahan yang dari rakyat, oleh pejabat dan untuk pejabat tentu itu bukan demokrasi namanya. Sebab, demokrasi adalah yang dari rakyat,oleh rakyat dan untuk rakyat. Entah apa namanya jika seperti itu, mungkin juga bernama demokrasi namun demokrasi tanpa hati nurani.

Mungkin itu demokrasi produk -- meminjam istilah Cak Nun --  manusia keturunan Nabi Nuh saat istrinya kemasukan iblis. Yang dimaksud dengan manusia keturunan nabi Nuh saat istrinya kemasukan iblis adalah manusia Indonesia. katanya, para koruptor yang kena tangkap kemudian memakai kopiyah atau kerudung itu tanda manusia Indonesia keturunan Nabi Nuh saat istrinya kemasukan iblis, katanya.

Reformasi dan kemudian Demokasi sampai saat ini hanya istilah yang tidak tuntas kalah pada realitas.

Sedangkan korupsi, menjadi makhluk abadi, tidak pernah mati melenggak lenggok dengan santainya karena hukum tak mampu menindaknya. Korupsi selalu mampu berevolusi menyesuaikan dengan keadaan. Cerdas!

Dulu, korupsi diam-diam masuk dalam sistem karena sistem pemerintaha masa itu tertutup. Sekarang, korupsi terang-terangan karena sistem “keterbukaan” yang dianut pemerintahan. Korupsi mampu beradaptasi.

Tidak seperti reformasi dan demokrasi yang tak mampu “mengada,” korupsi bisa menjaga eksistensinya. Kecerdasan dan kemampuan korupsi beradaptasi dan bereksistensi mungkin karena faktor umur.

Dalam konteks Indonesia, korupsi lebih dahulu lahir dari pada reformasi dan demokrasi. Reformasi dan demokrasi atau tepatnya demokratisasi baru lahir pada Mei tahun 1998. Sedangkan korupsi – kalau kita mau positif thingking – dilahirkan ketika Soeharto berkuasa beberapa puluh tahun silam. Faktor umur tersebut mempengaruhi bagaimana mereka hidup di negri ini: yang lebih tua, otomatis lebih berpengalaman sehingga banyak memiliki pengetahuan  dalam mengarungi “kehidupan.”

Reformasi menginjak umur yang ke-16, begitupun dengan wacana demokratisasi. Namun tak ada hasil maksimal, mungkin karena terlalu muda. Sedangkan korupsi dengan umur berpuluh tahun tetap eksis dalam aktivitas kenegaraan. Atau juga karena reformasi dan demokratisasi itu masih terlalu muda untuk berani mengkritik korupsi atau bahasa sopannya, sungkan.

Jika demikian halnya, korupsi akan selalu unggul dari pada reformasi dan demokrasi yang masih bau kencur itu. Artinya, dinegri ini Korupsi bisa jadi akan jadi penguasa selama-lamanya.

Kondisi seperti itu seperti sepotong cerita yang kembali terjadi. Bedanya, dulu, korupsi bersifat sentralistik, sekarang desentralistik. Dulu korupsi dilakukan oleh Raja dan anak buahnya, sekarang PNS golongan rendah seperti Gayus Tambunan mengkorupsi miliaran rupiah.

Tentu, kondisi demikian mengundang reaksi dari rakyat Indonesia. diperparah dengan pengurangan subsidi BBM, telah mengundang reaksi beberapa elemen bangsa seperti mahasiswa dan buruh dari berbagai daerah turun ke jalan melakukan demonstrasi penolakan kebijakan tersebut.

Demonstrasi untuk yang kesekian kali. Entah apakah reformasi jilid dua lalu demokratisasi kedua atau memilih jalan yang lebih radikal, Revolusi! Ya, Revolusi!

Menurut cak Nun, peluang Revolusi Indonesia sangatlah besar. Karena nyatanya, manusia-Indonesia itu paling revolusioner dimuka bumi. Salah satu contoh revolusionernya jiwa Indonesia adalah beraninya mereka menderita dalam penindasan kebijakan pemerintahan. Contoh ke dua bisa dilihat dari mayoritas politisi dalam sisitem pemerintahan yang sangat kuat sekali menahan rasa malu atas kesalahan yang dilakukan: sudah jelas tertangkap sebagai maling negara, masih saja senyum sana-sini sambil melambaikan tangan seperti tanpa kesalahan.


Jika Revolusi itu terjadi, apapun jalan yang ditempuhnya, maka nasib seperti Revolusi saya ramalkan akan mengalami nasib yang sama dengan istilah reformasi dan demokrasi yang kalah bersaing dengan Korupsi dengan pengikut yang banyak sekali!


KPU telah menetapkan dan memutuskan nomor urut partai peserta pemilu 2013 nanti; Partai Nasdem, PKB, PKS, PDI-P, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, PAN, PPP, Partai Hanura. Dari 10 partai Nasional ini, hanya Partai Nasional Demokrat (Partai Nasdem) sebagai satu-satunya partai baru peserta pemilu setelah partai-partai baru lainnya tidak memenuhi persyararatan yang telah di tetapkan KPU.

Penetapan nomer oleh KPU tersebut diupayakan dikaitkan dengan legitimasi ideologis-agamis, mistis-kosmologis. Para pengurus parpol akan berupaya menghubungkan tautan-tautan legitimasi simbolik untuk meyakinkan pemilih bahwa nomer urut mereka yang paling ideal. Diprediksi, calon pemilih akan dibanjiri sosialisasi nama-nama partai beserta klaim simboliknya dari pada digerojok program-program partai. (Kris Nugroho, Jawa Pos, 16 Januari).

Hal demikian wajar-wajar saja apabila memang mencerminkan ideologi, visi dan misi partainya. Jika tidak, maka partai tersebut bisa dibilang melanggar asas kejujuran dan masuk dalam kategori kebohongan publik karena telah menyampaikan sesuatu yang sebenarnya tidak memiliki kaitan apa-apa dengan parpolnya.

Selain itu yang perlu diperhatikan oleh parpol ketika mengaitkan nomer partainya dengan legitimasi ideologis-agamis dan mistis-kosmologis hendaknya tidak mengesampingkan asas saling mengargai satu partai dengan partai lainnya atau salah satu tokoh kader partai dengan kader partainya. 

Mereka, para pengurus parpol bebas untuk memaknai nomer partainya dengan tujuan meraih simpati dari masyarakat ketika pemilu asal tidak mencederai pancasila sebagai dasar negara Indonesia serta seluruh norma-norma masyarakat Indonesia.

Namun, para pengurus parpol yang nantinya akan memperjuangkan parpolnya, seharusnya menyadari lebih jauh tentang pola fikir masyarakat yang semakin kritis untuk menentukan partai mana yang harus mendapatkan dukungan suaranya.

Contoh kasus adalah ketika terpilihnya pasangan Jokowi-Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012 silam. Pasangan ini mendapat serangan SARA dari rival politiknya. Namun tetap saja Jokowi-Ahok memenangkan pemilu pada waktu itu. Sebab masyarakat saat ini sudah mulai menyadari siapakah yang pantas memimpinnya, tanpa harus mempersoalkan latar belakangnya agama dan sukunya.

Oleh karena itulah parpol harus benar-benar mempersiapkan diri bukan hanya dengan jargon-jargon, namun dengan program-program pemberdayaan masyarat sehingga akan menarik simpati untuk memilih partai.

Pemenang Pemilu 2014

Bukan mau meramalkan atau menebak-nebak siapakah pemenang pemilu 2014 nanti. Hanya saja akan memberikan sedikit kriteria kepantasan parpol seperti apakah yang seharusnya menjadi pemenang; pemenang pemilu, pemenang mengahadapi serangan koruptor dan kejahatan yang berpotensi mengahancurkan negara Indonesia.

Pertama, tentu adalah partai yang memiliki visi dan misi jelas untuk menyelasaikan semua silang-sengkarut permasalahan negri ini. Dan ini bukan hanya bisa dilihat dari visi dan misi yang terpampang dalam AD/ART partainya. Namun dari kebijakan parpolnya terhadap semua permasalahan bangsa yang terjadi, misalnya kebijakan partai terkait dengan kasus Bank Century. Sebab dari 10 partai peserta pemilu 2013 nanti, 09 diantaranya merupakan parpol di parlemen.

Kedua, adalah kader partai yang akan mengikuti pemilihan. Diakui atau tidak, parpol di negri ini tidak memiliki cukup kekuatan massa secara konstitusi. Namun lebih pada orang yang masuk dalam sebuah parpol. Artinya, yang memiliki kekuatan massa bukanlah institusi parpol, melainkan kader parpolnya.

Maka parpol memang harus dengan sungguh-sungguh mempersiapkan kader-kader dengan kapasitas dan kapibilitas kuat dalam penilaian masyarakat untuk di ikut-sertakan dalam proses pemilihan. Jika parpol memilih kader yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat, apapun parpolnya akan sulit mendapatkan dukungan suara dari masyarakat.

Para kader partai yang pernah melakukan korupsi atau kesalahan sekecil apapun dimata masyarakat dan berniat lagi mencalonkan diri, sebaiknya tidak diterima untuk menggunakan partai politik apapun dan dari dapil manapun. Sebab hal itu malah akan menjadi boomerang bagi partai kendaraannya. Kader tersebut akan ditinggalkan masyarakat yang berakibat pada akumulasi perolehan partai secara nasional untuk kemudian dijadikan acuan persyaratan tidak dan bolehnya sebuah parpol ikut mencalonkan kadernya sebagai pemimpin bangsa ini.

Ketiga, adalah strategi kampanya-kampanya menumbuhkan harapan rakyat akan kepemimpinan dari dirinya atau dari kader parpolnya seperti yang dilakukan  oleh Obama ketika mencalonkan dirinya untuk pertama kali. Tentu janji-janji yang ditawarkan parpolnya harus rasional dan tidak terlalu muluk-muluk alias dengan kemampuan partainya selama ini. Metode yang demikian akan lebih menarik simpati massa untuk ikut serta memberikan suara pada parpol dan kadernya untuk memenangkan pemilu dari pada parpol-parpol yang terlalu menggembar-gemborkan janji-janji padahal tidak sesuai dengan kondisi partai dan keadaan para kadernya.

Dan untuk meyakinkan masyarakat terhadap janji-janji parpol lewat kader parpolnya bukan perkara mudah. Hal ini di sebabkan Rakyat mengalami trauma politik karena pengingkaran parpol dan kadernya ketika berkampanya dan ketika telah selesai masa pemilihan; rakyat merasa dibohongi.

Keempat, adab sopan santun dalam melakukan kampanye. Lagi-lagi untuk contoh ini, kita harus melihat fakta nyata dari Jokowi Ahok. Sebab dua orang ini terlihat sopan dan santun dalam berkampanye. Meski ada oknum yang melakukan kampanye tidak beradab dalam ukuran sebuah Negara demokratis (Diskriminasi SARA), pasangan ini terlihat tenang dan tidak balik melawan dengan kampanye bejat juga. Dan terbukti pasangan ini meraih kemenangan pada putaran kedua.

Itulah kriteria parpol yang akan mendulang suara melimpah pada pemilu 2014 nanti; Parpol dengan Visi dan Misi Jelas dan sesuai dengan apa yang diinginkan rakyat selama ini, parpol dengan kader dengan kapasitas dan kapabilitas baik dimata masyrakat, parpol dengan strategi kampanye yang akan membuat masyarakat ditengah seringnya kebohongan-kebohongan oleh parpol setiap akan pemilihan, serta tata cara dalam berkampanye mencari dukungan suara.

Semoga parpol lebih dewasa dalam melakukan aktifitas politiknya untuk berkompetisi pada pemilu 2013 dan 2014 nanti. Semoga!

Sudah menjadi semacam tradisi baru bagi remaja bangsa ini untuk ikut serta merayakan valentine days setiap tanggal 14 Februari. Suatu hari yang identik dengan bunga dan cokelat sebagai ungkapan kasih sayang dari seseorang terhadap pasangannya.

Valentine days yang diartikan dengan hari besar kasih sayang memiliki energy positif cukup besar untuk menciptakan sebuah kehidupan bermasyarakat yang penuh cinta-kasih dan perdamaian. Energy positive tersebut hadir bersamaan dengan potensi negative yang akan di timbulkan oleh Valentine days tersebut.

Selama ini, valentine days hanya di laksanakan oleh para remaja dengan kesan negatifnya. Misalnya istilah ML (Making Love) yang seakan menjadi ritual di setiap perayaan ini. Padahal Valentine days sebagai hari besar kasih sayang merupakan milik semua umat manusia tanpa memandang usia dan latar belakang agama serta status sosialnya. Dan ini berarti valentine days menyimpan hal positif bukan negative seperti yang selama ini kita tangkap dari perayaan ini.

Valentine days secara pelaksanaannya di negri ini menuai berbagai macam kontroversi. Bahkan Islam mengharamkan merayakan valentine days dengan alasan tidak mencerminkan nilai-nilai keislaman, masyarakat menilai sinis karena di anggap membuang nilai-nilai norma kesusilaan.

Padahal dari segi maknawi, tanpa maksud menghapus unsur sejarahnya, Valentine days, hari besar kasih sayang seharusnya bisa menciptakan banyak nilai positif dari banyak sisi. Selain itu, kasih sayang dapat di lakukan dan di berikan kepada dan oleh siapapun saja, tidak melulu pemuda dengan kisah cintanya yang menggebu-gebu dan kadang tak bisa memposisikan antara nafsu dan cintanya itu.

Bagi bangsa ini, kasih-sayang menjadi kebutuhan mendasar yang menuntut untuk segera dibagikan dan dilakukan bersama-sama. Bukti bahwa bangsa ini butuh kasih sayang adalah banyaknya pertikaian yang tak terselesaikan. Seperti tawuran antar pelajar, pertikaian berlatar-belakang faham agama seperti di Sampang tahun 2012 kemarin dan di Poso yang tidak kunjung usai higga sekarang. Di Papua hampir tiap waktu terjadi peperangan bersaudara, antar sesama bangsa Indonesia. Dan banyak sekali contoh lain yang tak cukup ditulis dikertas terbatas ini.

Maka valentine days menemukan momentum yang pas untuk dirayakan dengan penuh penghayatan. Pada valentine days tahun 2013 ini — entah sudah edisi yang keberapa --  semestinya segenap masyarakat merayakan dan menyebarkan kasih sayang kepada siapapun saja. Para pejabat merayakan valentine days dengan melakukan tuntutan masyarakat, para rakyat hidup dalam kerukunan dan semua bangsa Indonesia hidup bermasyarakat-berbangsa dan bernegara dengan kasih sayang sebagai landasan dasarnya. Dan yang terpenting, Kasih sayang itu harus diberikan kepada Negara Indonesia yang selama ini sering di jahati oleh manusia-manusia tak berbudi pekerti, seperti siluman tikus bernama koruptor.

Jika kita melaksanakan budaya valentine days dengan ritual bermanfaat dan bermartabat, maka tak ada alasan apapun untuk melarang perayaan ini dengan berbagai alasan. Malah valentine days bisa di jadikan sebagai momentum mengingat kembali akan indahnya kasih sayang dalam kehidupan sosial.

Valentine days dan Budaya Indonesia

Melalui tata cara atau ritual Valentine days yang bermartabat dan bermanfaat tidak salah kiranya jika kemudian budaya yang aslinya berasal dari Negara yang tentu berkebudayaan lain dari bangsa Indonesia, melahirkan keharmonisan baru bagi budaya bangsa Indonesia. Lebih jauh lagi, akan menjelma menjadi jembatan baru untuk mengokohkan budaya bangsa.

Sebagaimana pernah di sampaikan oleh sang proklamator bangsa Indonesia, Ir. Soekarno bahwa budaya Indonesia adalah budaya gotong-royong; sebuah budaya berasaskan kolektivitas untuk mencapai suatu keinginan. Budaya yang mengesampingkan banyak hal demi ikatan persaudaraan sebangsa dan setanah air; Indonesia raya.

Untuk dapat sampai pada tingkat manusia yang berjiwa gotong-royong, tak ada jalan lain selain dengan sifat kasih sayang antar rakyat Indonesia. Sebab jika sifat menebar kebencian, sifat tidak suka dan lain sebagainya, bukan malah melahirkan manusia berjiwa gotong-royong, melainkan manusia yang akan selalu bertikai dan bertikai tanpa henti.

Jika demikian halnya, pantas jika Valentine days ini kita rayakan meski tetap saja orang-orang yang menolak budaya ini akan berkilah bahwa kasih sayang tidak terpaku pada tanggal 14 Februari saja. Tapi tiap waktu dan kapanpun saja, kasih sayang harus di lakukan.

Namun perlu digaris bawahi dan di fikir jauh bahwa Valentine days tak ubahnya peringatan hari besar lainnya, seperti hari Qurban dan Hari kemerdekaan. Padahal tiap waktu kita boleh dan bisa berkurban dan merdeka. Namun kenapa tetap di laksanakan. Begitupun jawaban dengan hari valentine days.

Namun perlu di tegaskan disini, valentine days itu harus di rayakan dan di laksanakan melalui tata cara dan ritul yang – sekali lagi—bermartabat dan bermanfaat seperti yang telah di contohkan di atas. Tanpa tata cara yang baik seperti yang selama ini di laksanakan oleh para remaja kita, siapapun saja akan berkata dengan lantang agar perayaan ini bisa di larang dengan alasan merusak mental bangsa dan menghilangkan karakter kebangsaan pemuda-pemudi sebagai penerus tanah Nusantara.

Akhirnya, marilah kita rayakan Valentine days bersama-sama untuk menemukan kembali kasih-sayang yang sudah lama hilang dari Negara remah ripah loh jenawi ini. Setelah kita temukan, maka kita pun akan kembali mendapatkan jalan pulang menuju manusia yang bergotong royong sebagai identitas manusia bangsa Indonesia. Selamat Hari Valentine Indonesia.

Berialah Aku sepuluh orang tua, akan Aku runtuhkan gunung-gunung. Berilah Aku sepuluh Pemuda, maka akan Aku goncang Dunia (Ir. Soekarno).

Kalimat di atas sudah sering kita dengar. Dan banyak kalimat sejenis lainnya yang intinya tentang urgensi pemuda dalam kehidupan. Bahkan sejarah nasional telah membuktikan bahwa pemudalah yang selalu berdiri di depan dalam menghadapi setiap persoalan bangsa, baik pada masa perjuangan kemerdekaan, masa mempertahankan kemerdekaan, masa transisi sampai masa reformasi pada saat sekarang ini.

Entah karena hal itulah kemudian, banyak partai-partai politik dalam menghadapi pemilu pada ujung 2013 dan awal 2014 membuat sayap organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan. Dan banyak pemuda dan mahasiswapun yang berbondong-bondong untuk ikut aktif dalam organisasi sayap partai tersebut.

Sebut saja partai Nasdem dengan Liga Mahasiswanya, Golkar dengan AMPI-nya, dan partai-partai lain serta sayap-sayap partai lainnya yang dikhususkan untuk pemuda dan Mahasiswa.

Fenomena tersebut bisa di bilang baru terjadi di Indonesia. Tentu saja harapan kita akan fenomena tersebut adalah terciptanya iklim politik demokratis yang menjunjung nilai-nilai pancasila dan adat kesopanan.

Namun di balik itu semua harus di akui akan adanya efek positif dan negative dari terjunnya para pemuda dan mahasiswa ke medan sayap partai politik-praktis. Tentu saja efek positif dan negatif tersebut harus segera kita sadari dan yang negatif bisa di buatkan langkah antisipatif.

HARAPAN

Sistem politik nasional kita bisa di bilang buruk. Salah satu yang menjadi sorotan adalah system kaderisasi partai yang jarang mengorbitkan para politisi muda. Buktinya, sejak pasca reformasi pada tahun 1998 sampai saat ini, yang selalu tampil selalu saja tokoh tua. Meski akhir-akhir ini sudah mulai lahir politisi-politisi muda seperti Muhaimin Iskandar (Menristek dan ketua umum PKB), Anas Urbaningrum (Ketua umum Demokrat), Edi Baskhoro Yudhuyono (Sekjen Demokrat) serta Puan Maharani (PDIP) dan tokoh independen seperti ketua KPK, Abraham Shamad.

Dan terjunnya para pemuda dan mahasisiwa ke sayap-sayap partai politik akan memperbaiki proses kaderisasi kepemimpinan di negri ini. Selain itu, idealisme para mahasisiwa diharapkan mampu menjadi semacam SMADAV yang akan membunuh firu-firus Demokrasi seperti Money politik dan institusi pemerintahan yang tidak transparan alias tertutup sehingga menyebabkan timbulnya tindakan koruptif oleh para pejabat.

Jika demikian, terciptalah sebuah iklim politik yang baik serta pemerintahan yang transparan layaknya system demokrasi yang kita harapkan. Ditambah dengan kalaborasi antara politisi muda dan tua, akan melahirkan sebuah pemikiran positif bagaimana memperbaiki bangsa yang pernah jaya ketika masih bernama Nusantara.

Tentu efek positif tersebut tidak serta merta terjadi begitu saja tanpa didorong dengan sebuah usaha yang baik dari seluruh elemen bangsa yang masih mencintai negri ini. Misalnya dengan proses kaderisasi yang kompetitif oleh partai, baik yang ada dipemerintahan maupun diluar pemerintahan dengan cara tidak mencontohkan citra yang negatif seperti melakukan tindakan koruptif, gratifikasi dan tidak hadir dalam rapat bagi yang duduk di meja DPR.

KEKHAWATIRAN

Bahkan kemungkinan efek negatif dari fenomena perpolitikan negri ini dirasa cukup membahayakan system demokrasi yang belum maksimal ini. Efek negatif ini bahkan akan mengancam eksistensi bangsa kedepannya.

Kenapa penulis bertanya demikian??? Sebab diakui atau tidak para politisi kita masih menunjukkan citra yang negatif misalnya dengan maraknya tindakan korupsi yang dilakukan oleh anggota partai di parlemen. Dan selama ini yang menjadi agen of social control dari tindakan pemerintah yang bejat itu berasal dari kelompok muda dan mahasiswa. Mereka selalu di depan menuntut agar pejabat pemerintahan yang melakukan kesalahan di adili sesuai undang-undang. Jika mereka semua terjun ke dunia politik praktis siapakah yang akan mengontrol pemerintahan kita secara independen.

Inilah letak permasalahannya. Sebab, sudah menjadi fakta bahwa mantan aktifis mahasiswa yang terjun ke dunia politik praktis tidak dapat mempertahankan idealismenya. Mereka seakan tidak mampu melawan system. Maka jangan heran jika kemudian Anas Urbaningrum, Muhaimin Iskandar dan Andi Malarangeng terjerat kasusu korupsi. Padahal selama ini Anas Urbaningrum dikenal sebagai mantan ketua sebuah organisasi kemahasiswaan terbesar dinegri ini.

Itulah kekhawatiran ketika mahasiswa dan pemuda terjun langsung menjadi kaki-tangan partai politik dengan terjun di organisasi sayapnya. Jika yang terjadi adalah seperti para pendahulu mereka, maka akan semakin kacaulah Negara kita. Sebab dengan umur yang masih muda mereka akan memiliki waktu yang cukup panjang untuk terus ada dalam lingkaran setan.

Oleh karena itulah, dengan waktu yang terbilang cukup panjang, sekitar satu tahun mendatang pemilihan akan kita gelar, alangkah baiknya jika para senior politisi benar-benar melakukan pengkaderan yang baik agar melahirkan pemuda politisi sekaligus negarawan hebat.

Semoga fenomena ini bisa membawa berkah bagi kemajuan bangsa kita. Semoga para pemuda yang terjun ke dunia politik praktis tetap menjaga idealismenya dimanapun berada, terutama ketika berada dalam system pemerintahan.

Setiap tanggal 22 Desember, kita Rakyat Indonesia turut serta merayakan hari Ibu tinternasional. Tentu hal ini sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan kepada perempuan, Ibu yang telah mengandung manusia selama Sembilan bulan hingga lahir ke dunia, Ibu yang menjadi manusia paling berjasa dalam menjaga keberlangsungan kehidupan manusia di dunia sampai detik ini. Tanpanya, mustahil sejarah manusia akan berlangsung sampai sekarang.

Dan jika di selami lebih dalam lagi, kita akan menemukan mutiara pelajaran yang memiliki nilai yang mendalam, misalnya tentang kecintaan kita terhadap Ibu pertiwi, Indonesia. Dan dalam tulisan pendek ini, penulis ingin mencoba untuk menghubungkan hari Ibu ini dengan nilai-nilai pendidikan. Tentu hal ini dimaksudkan untuk memperoleh nilai lebih dari hari Ibu yang selalu kita rayakan setiap tanggal 22 Desember. Sebab selama ini kita hanya sekedar melakukan acara seremonial dan hanya tentang perempuan tanpa meghubungkan dengan permasalahan krusial bangsa lainnya, seperti dalam pendidikan.

Tulisan pendek ini kemudian menemukan momentumnya sebab pada saat ini, menteri pendidikan kita, M. Nuh akan menerapkan system baru dalam dunia pendidkan nasional. Semoga saja system itu bisa melahirkan manusia-manusia yang diharapkan, seorang anak bangsa yang mampu mengharumkan bangsanya dimata bangsanya sendiri dan bangsa-bangsa lain di dunia.

Melihat kembali sejarah Indonesia yang ditayangkan lewat buku-buku, kita akan disuguhkan sebuah fakta menarik bahwa antara perempuan dengan pendidikan memiliki nilai historis yang cukup lekat.

Salah satunya seperti dicontohkan oleh tokoh sejarah bangsa Indonesia, Kartini yang kita kenal sebagai tokoh emansipatoris perempuan nasional. Juga seperti Cut Nyak Dien yang melulu ditokohkan sebagai pahlawan dari kalangan perempuan yang memperjuangkan pembebasan bangsa dari penjajahan bangsa asing. Padahal kedua tokoh ibu tadi juga ikut andil dalam hal pendidikan: bagaiman pendidikan seharusnya dijalankan dan diberikan kepada seseorang.

Pada hakikatnya, Pendidikan adalah proses untuk memanusiakan manusia: dari yang awalnya tidak tahu apa-apa, bisa menjadi tahu layaknya manusia yang telah diberi kemampuan fikiran untuk memiliki ilmu pengetahuan sebagai penunjang kehidupan yang penuh peradaban. Sehingga dengan tempaan pendidikan dan pengetahuan yang didapatkan, bisa membuat sesorang menjadi manusia seharusnya. Bukan manusia seperti hewan yang tidak berpengetahuan, akal-fikiran perasaan.

Itulah nilai pendidikan yang dilakukan oleh tokoh perempuan kita itu: melawan tindakan yang tidak manusiawi dan memanusiakan manusia yang diperlakukan seperti bukan manusia layaknya. Memperjuangkan kemerdekaan dari semua bentuk penjajahan agar dapat berkreasi dalam kehidupan; membebaskan dari semua ketertekanan dan belenggu sistem budaya dan penjajah belanda pada masa itu.

Namun yang terjadi selama ini malah tidak mencerminkan proses memanusiakan manusia, melainkan menjadikan manusia layaknya burung yang harus tahu berbunyi ini dan itu seperti yang diharapkan pemiliknya. Karena akan membuat harga burungnya menjadi mahal dan menguntungkan. Bahasa gampangnya, pendidikan kita tidak membebeskan, tapi penuh pemaksaan. Dan segala bentuk pemaksaan itu tidak mencerminkan manusia beradab.

Kenapa penulis mengatakan seperti itu??? Karena memang demikian kenyataan yang kita saksikan dan rasakan: bagaiman kemudian pemerintah dengan sistemnya mengharuskan peserta pendidikan harus menguasai mata pelajaran ini sehingga bisa lulus dan bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Tidak pernah pemerintah membiarkan peserta didik untuk mendalami minat dan kemampuannya. Karena meskipun seorang peserta mampu menulis karya tulis, pintar dalam pelajaran agama, cerdas dalam berbisnis, dan bisa sukses menjadi pemimpin di organisasi yang diikuti misalanya, namun tidak bisa mengikuti system atau tidak memiliki pengetahuan yang diwajibkan pemerintah, maka kemampuan dan keilmuan tadi seakan tidak memiliki arti. Artinya, peserta pendidikan tersebut dinilai belum mampu untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat diatasnya. Ironis sekali bukan?!!

Kembali pada hari ibu yang kita rayakan setiap tanggal 22 Desember, pantaslah jika kita belajar pada sesosok perempuan bernama Ibu, sosok perempuan seperti Cut Nyak Dien dan Kartini yang melakukan gerakan memanusiakan manusia, gerakan pembebasan kreasi dan sebagainya yang merupakan hakikat nilai pendidikan.

Selain itu, semangat keibuan juga harus menjadi spirit dalam dunia pendidikan nasional: Ibu yang penuh kasih-sayang, ibu yang tidak memaksakan, ibu yang tidak memiliki kepentingan terhadap anaknya dan Ibu yang memiliki keinginan yang terbaik buat buah hatinya. Jika demikian, maka tidak ada lagi perubahan kebijakan dalam dunia pendidikan Karena perubahan mentrinya. Karena setiap mentri yang selalu bergonta-ganti itu akan disatukan dalam visi dan misi yang sama; demi kemajuan pendidikan bangsa Indonesia.

Jika semangat keibuan kita cangkokkan pada dunia pendidikan, harapan Indonesia memiliki banyak tokoh dalam ilmu pengetahuan tinggal menunggu giliran: Kita akan punya penulis Novel, Puisi, tokoh matematika, tokoh filsafat dan tokoh-tokoh lainnya bertaraf dunia. Akhirnya  Indonesia bisa berdiri bangga diantara bangsa-bangsa. Semoga!!!

Maka, marilah kita kaji kembali apakah sistem pendidikan yang baru itu sudah memberikan ruang luas untuk tempat berkreasi anak-anak bangsa atau masih saja tetap penuh pemaksaan.

Pada hari ibu pada kesempatan tahun ini kita jadikan ajang refleksi, selain untuk menghormati semua perempuan, baik yang akan, sedang dan telah menjadi ibu, juga sebagai refleksi bagaimanakah pendidikan kita seharusnya dilaksanan. Selamat merayakan hari Ibu. Sukses selalu untuk semua perempuan yang akan, sedang dan telah selesai menjadi Ibu.

Pada peringatan hari anti korupsi pada tanggal 09 Desember kemarin, seorang pemateri yang berprofesi sebagai advokat bercerita bahwa dirinya ikut terjun ke sebuah partai politik untuk melihat, merasakan dan mengetahui aktifitas partai politik. Namun dengan lantang saya mengatakan bahwa hal itu tindakan yang kurang benar, mesku bukan salah. Hal ini bukan berarti karena saya anti partai. Tidak. Sekali lagi tidak. Akan tetapi karena sebuah kenyataan yang tidak terbantahkan bahwa partai sudah menjelma menjadi semacam pabrik yang memproduksi tikus-tikus berdasi alias koruptor. Bukan partai yang melahirkan kader pejuang ideology partainya sendiri yang semuanya berasaskan pancasila. Mungkin statemen semacam itu terlalu ekstrem dan tidak sedikitpun memberikan penghargaan kepada partai politik yang bagaimanapun bentuknya menjadi salah satu dari tegaknya demokrasi. Sebab dengan adanya partai, maka akan tercipta sebuah iklim cek and balance, penguasa yang akan menjalankan pemerintahan dan oposisi sebagai pengontrol dari kebijakan pemerintah. Namun demikian, apa yang ditulis dalam paragraph sebelumnya menjadi benar ketika realita di lapangan menunjukkan bahwa system kontrol kepada pemerintah seakan tidak berjalan semestinya. Bahkan antara pemenang pemilu dan oposisi bekerja sama untuk menghidupi partainya. Tentu dengan berbagai kompromi poltik. Salah satu bentuk kerja sama tersebut adalah dengan bagi-bagi kekuasaan dan akses keuangan. Maka jangan heran jika kemudian kasus century yang sudah sekian tahun umurnya tidak menemukan kejelasan nasib. Bahkan pihak oposisipun seakan diam tanpa perlawanan ketika aliran dana century tersebut mengalir ke kantong partai-partai pemenang pemilu dan yang berkoalisi. Meski hanya sebatas konklusi pandangan dari beberapa penyelidikan yang telah di lakukan, dikatakan diamnya parpol oposisi tersebut ditengarai karena partainya ikut merasakan aliran dana century tersebut. Pendapat demikian bisa dibilang cukup masuk akal mengingat partai oposisi biasanya mengambil keuntungan politik dengan mengungkap kasus-kasus yang menjelekkan partai pemenang pemilu. Apalagi menjelang pemilu legeslatif dan eksekutif pada tahun 2013 dan 2014. Ketidak Dewasaan Parpol Dari kasus dan analisa itulah kemudian saya memiliki pandangan yang buruk terhadap partai hingga menyalahkan seseorang yang terjun kesebuah partai politik. Sebab saya kira, terjadinya kasus seperti itu dilatar belakang oleh system partai kita yang masih belum dewasa. Salah satu bentuk ketidak dewasaan partai-partai Indonesia adalah tidak jelasnya peran dan fungsi dari partai pemenag pemilu dan yang berkoalisi serta partai-partai yang memilih posisi sebagai oposisi. Keduanya seharusnya menjalankan jalurnya masing-masing: pemenang pemilu menjalankan pemerintahan dengan baik, sedangkan partai oposisi meperbaiki kinerja pemerintah dengan cara kontroling. Ironisnya lagi, tindakan-tindakan kebanyakan kader partai yang mencerminkan suatu sikap tidak baik, misalnya dengan melakukan tindakan korupsi, menyalah gunakan jabatan atau selalu tidak hadir ketika rapat bagi anggota DPR dalam membahas tentang suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan rakyat. Padahal antara yang pemenang dan yang oposisi seharusnya saling menjaga nama baik dihadapan rakyat Indonesia untuk menjaga kredibilitas partainya. Akan tetapi kenyataan yang ada malah menunjukkan suatu kenyataan bahwa partai-partai kita selalu memproduksi para politisi dan negarawan yang tidak berkualitas. Hanya sedikit kader partai yang benar-benar mumpuni dalam menjalankan amanat kenegaraan. Dan yang sedikit itu terproduksi karena kecelakaan dan biasanya akan menemui banyak kesulitan dalam menjalankan tugasnya, seperti kasus Lily Wahid dari partai PKB versi Muhaimin. Lihat saja kasus-kasus korupsi yang terjadi, kebanyakan dilakukan oleh kader partai, mulai dari Demokrat, PPP, PKB dan lainnya yang tidak akan muat dalam satu edisi surat kabar (koran) memuat daftar nama-nama kader partai yang melakukan tindakan yang tidak seharusnya di lakukan. Dalam kasus korupsi pun, KPK menerima lebih dari seribu laporan yang dalam istilah Jawa Pos Edisi 08 Januari 2012 di editorialnya diistilahkan Air Bah korupsi. Maka tidak salah jika kemudian banyak partai-partai dipandang negatif dengan disebut sebagai pabrik atau sarang dalam melahirkan para koruptor tangguh dan canggih. Sebuah image negetif yang mengancam partisipasi masyarakat dalam menumbuhkan semangat demokrasi karena ketidak percayaan terhadap partai-partai peserta pemilu. Tentu hal semacam itu menjadi preseden buruk terhadap keberlangsungan demokrasi kita. Sebab demokrasi bagaimanapu memerlukan partisipasi rakyat dalam menentukan siapakah pemimpin yang pantas untuk dijadikan sebagai pengemban amanat rakyat di pemerintahan demi mengawal demokrasi. Dan jika hal itu tidak segera dirubah secepat mungkin, jangan heran apabila partai politik yang buruk akan hancur dan beralih kepada independensi. Peristiwa semacam itu sudah terjadi di Jakarta. Jokowi yang bukan putra daerah asli tapi dengan track record yang baik mampu meraih simpati warga ketimbang calon incumbent. Para pengamat menganggap ini adalah gaya berpolitik masyarakat yang makin dewasa dengan memilih pemimpin berkualitas dan pantas untuk ditunjukkan di pentas kepemimpinan yang berkelas. Tidak seperti dulu yang lebih mengikuti partai pemberi uang saja. Sekarang rakyat tidak bisa dibeli. Sebab masyarakat mulai sadar bahwa hak suaranya akan menentukan nasib dirinya, keluarganya, tetangganya, desanya, kecamatannya, kabupatennya, propinsinya bahkan bangsanya, Indonesia tercinta. Maka dapat diambil kesimpulan tentang bagaimanakah nasib partai selanjutnya; nasib partai ada ditangannya sendiri. Bagi yang bisa memperbaiki diri dan berhijrah ke system yang lebih cerah, gairah kesuksesan akan di dapatkan dengan dukungan segenap masyarakan yang sudah berfikir lebih maju kedepan. Akan tetapi partai yang tidak berbenah diri, suatu hari nanti akan mati karena ditinggal pergi masyarakat ke partai yang lebih bernilai bagi masa depan kehidupan ini. Akhirnya, partai harus memilih mau menjadi partai yang terpilih atau partai yang tak diminati sama sekali. Menjadi yang terpilih dan yang tak diminati tentu memiliki jalannya masing-masing. Biarkan partai menempuh jalannya sendiri dan menanggung nasib yang telah dipilih.
Sejarah telah mencatat dengan jelas bahwa para Founding Father and Mother bangsa 1001 pulau ini, Indonesia, berjuang menumpas kolonialisasi belanda dan militerisasi jepang tak lain dan tak bukan adalah karena kecintaan dan rasa memiliki yang tinggi terhadap bangsanya sehingga tidak rela jika bangsanya diinjak-injak oleh bangsa lain dan tidak terima jika saudara setanah-airnya dijadikan budak. Nasionalisme menjadi jiwa dari raga-raga para pendahulu kita yang sungguh luar biasa itu. Semua yang dimilikinya menjadi semacam sampah yang harus dibuang demi bangsa Indonesia.

Perbedaan Agama, Suku dan Kelas sosial dimasukkan kedalam keranjang sampah. Yang mereka pegang dengan erat dan dijunjung setinggi-tingginya adalah status ke-Indonesia-annya. Sehingga segenap rakyat bangsa Indonesia bersatu padu berjuang mewujudkan Indonesia yang merdeka dari segala bentuk penjajahan oleh siapapun dan apapun saja.

Seperti itulah para pendahulu kita, nenek moyang yang telah melahirkan kita. Dan seharusnya jiwa-jiwa mereka menjadi jiwa-jiwa kita sebagai penerus perjuangannya. Atau jika memang jiwa itu telah istirahat setelah jasadnya kembali kepangkuan bumi, maka seharusnyalah bagi para pewaris pejuangannya untuk mengajari jiwanya mencintai bangsanya seperti sesepuh kita. Atau jika terasa berat kita ikuti saja ajaran agama mayoritas penduduk negeri sepotong pulau dari surga ini, Islam: Mencintai Negara-Bangsa (Nation State) adalah sebagian dari Iman.

Bukankah manusia Indonesia semuanya beragama??? Namun yang terjadi sekarang sungguh sangat jauh dari apa yang telah sejarah tuliskan. Seakan-akan, manusia Indonesia kini adalah manusia yang tidak memiliki garis keturunan manusia-manusia yang mencintai negrinya sendiri dan isinya dengan sepenuh hati.

Sepertinya ada keterpotongan gen yang hilang entah kenapa. Yang jelas semuanya memiliki garis tebal pembeda antara manusia Indonesia Pra kemerdekaan dan manusia Indonesia pasca kemerdekaan. Garis pembeda itu begitu tebal sehingga amat sangat nyata. Kenyataan yang tidak perlu dibuktikan. Cukup rasakan dan saksikan lalu bandingkan dengan sejarah yang telah diberikan sejak sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA).

Jika Presiden pertama kita, Ir. Soekarno, Bung Hatta, Bung Tomo dan pejuang-pejuang lainnya dengan gagah berani melawan setiap penjajahan melalui berbagai cara dengan mempertaruhkan hidup yang cuma sekali karena ingin melihat bangsa ini bermartabat dimata bangsa-bangsa lain, Karena tidak terima rakyat dijadikan budak, karena kekayaan alam Indonesia dicuri, karena menginginkan bangsa ini merdeka dari segala-galanya.

Mereka melakukan demi kepentingan bangsa, bukan kepentingan diri sendiri. Mereka melakukan demi kepentingan bersama bukan ambisi pribadi. 

Semuanya demi Indonesia, bahkan nyawa sekalipun diabdikan untuk memerdekakan Indonesia dari perbudakan yang dilakukan bangsa-bangsa biadab tanpa kemanusiaan dan penuh dengan penyiksaan dan penderitaan. 

Sehingga mereka tidak terima dan berontak. Berbeda halnya dengan para petinggi negri yang katanya para wakil rakyat dipemerintahan. Para wakil rakyat ini, malah menajadi benalu yang lambat laun akan menghancurkan bangsa ini, perlahan akan memusnahkan rakyat Indonesia dan pada akhirnya hilanglah nama Indonesia.

Ya, tindakan koruptif mereka menghancurkan segalanya, segala yang dicita-citakan oleh leluhur bangsa, semua harapan yang diinginkan para pejuang kemerdekaan.

Yang terjadi kemudian tidak berbeda ketika nagara ini dijajah oleh Negara lain. Rakyat sama-sama menderita, sengsara, menjadi budak segelintir manusia, harta kekayaan bangsa diambil untuk kepentingan pribadi saja, rakyat tidak bisa berbuat apa-apa meski katanya sudah merdeka sebab dibatasi oleh peraturan yang merugikan dan hanya menguntungkan pihak yang kuat baik karena kekuasaan atau karena perekonomian. Bedanya hanya satu, kekacaubalauan yang terjadi saat ini dilakukan oleh mereka yang dalam identitas KTP-nya sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Sedangkan dulu karena bangsa lain yang tidak memiliki ikatan emosional apapun dengan kita. 

Inilah kenapa saya sebut seakan manusia Indonesia sekarang tidak memiliki silsilah biologis dengan manusia yang berhasil memerdekakan perbudakan bangsa yang dilakukan bangsa lain sejak abad 17 M lalu. Sebab, bukan hanya kaum elitenya saja yang tidak memiliki nasionalisme sehingga tega mengekploitasi rakyat dan kekayaan bangsa demi kepentingan pribadi saja. 

Bahkan, rakyat biasapun harus dipertanyakan rasa nasionalismenya dengan tanda tanya besar. Alasannya jelas dan buktinya tiap waktu selalu berulang, yaitu tiap pemilihan orang-orang yang bisa duduk dipemeritahan, meski belum tentu haknya yang dengan terang-terangan melakukan pembelian suara (Money Politic). Rakyat menerima dan memilih sesuai dengan intruksi dari sang pemberi tanpa memilah dan memilih, serta menimbang dan mempertimbangkan apakah nanti akan menjadikan bangsa ini sesuai dengan apa yang diharapkan pejuang-pejuang bangsa ini: berdiri diatas kaki sendiri (Berdikari), Bangsa yang bermartabat, bangsa yang tidak menjadi bangsa kuli diantara bangsa-bangsa dan harapan luhur lainnya. Entah ini adalah efek dari susuhnya hidup yang dijalaninya, yang jelas hal itu mencerminkan bahwa bangsa ini sudah tidak terlalu dicintai, cinta yang seharusnya diberikan pada sebuah tanah kelahiran yang darinya kita bertahan hidup dan ditanah itulah tanah dari jasad kita akan menyatu menjadi bumi bernama Indonesia. 

Kemanakah nasionalisme, apakah Ia ikut menjadi abu dan hanya menyisakan kenangan, harapan dan cerita seperti halnya para pejuang kemerdekaan yang hebat itu??? Sungguh naïf jika begitu dan sungguh terlalu apabila memang sengaja dibiarkan begitu.

Subhanllah!!! Seharusnya kita semua, warga Negara Indonesia membaca dan menghayati dengan sepenuh hati kisah pejuang bangsa yang rela mati demi harga diri bangsanya dan martabat rakyatnya. Bukan malah takut tidak hidup glamour lalu mengorbankan semuanya.

Saya bukannya fanatik ataupun menganggap pejuang kemerdekaan para dewa yang tanpa cacat kesalahan. Tidak. Namun kenyataan dan sudah menjadi fakta sejarah bahwa keluhuran dalam berbangsa dan bernegara yang dimilikinya menjadi pelajaran yang seharusnya diajarkan dan diamalkan. Lihat saja Bung Tomo, yang dalam kondisi fisik yang lemah karena sakit, beliau masih memimpin gerakan perjuangan mengusir para penjajahan. Itu satu contoh nyata.

Saksikanlah wahai para pejabat Negara, para rakyat jelata dan para Pemuda bahwa mereka melakukan itu semua atas nama cinta yang begitu mendalam pada bangsanya, rasa persaudaraan yang tinggi terhadap manusia setanah airnya hingga rasa sakitpun tak terasa. Bukankah cinta mengubah segalanya menjadi indah. Begitulah cinta mereka pada bangsanya. Semoga jiwa-jiwa nasionalisme mereka segera berinkarnasi kedalam setiap jiwa bangsa kita. Amin. Semoga?!!