Masa Depan Partai Politik Indonesia

By | 05.30 Leave a Comment
Pada peringatan hari anti korupsi pada tanggal 09 Desember kemarin, seorang pemateri yang berprofesi sebagai advokat bercerita bahwa dirinya ikut terjun ke sebuah partai politik untuk melihat, merasakan dan mengetahui aktifitas partai politik. Namun dengan lantang saya mengatakan bahwa hal itu tindakan yang kurang benar, mesku bukan salah. Hal ini bukan berarti karena saya anti partai. Tidak. Sekali lagi tidak. Akan tetapi karena sebuah kenyataan yang tidak terbantahkan bahwa partai sudah menjelma menjadi semacam pabrik yang memproduksi tikus-tikus berdasi alias koruptor. Bukan partai yang melahirkan kader pejuang ideology partainya sendiri yang semuanya berasaskan pancasila. Mungkin statemen semacam itu terlalu ekstrem dan tidak sedikitpun memberikan penghargaan kepada partai politik yang bagaimanapun bentuknya menjadi salah satu dari tegaknya demokrasi. Sebab dengan adanya partai, maka akan tercipta sebuah iklim cek and balance, penguasa yang akan menjalankan pemerintahan dan oposisi sebagai pengontrol dari kebijakan pemerintah. Namun demikian, apa yang ditulis dalam paragraph sebelumnya menjadi benar ketika realita di lapangan menunjukkan bahwa system kontrol kepada pemerintah seakan tidak berjalan semestinya. Bahkan antara pemenang pemilu dan oposisi bekerja sama untuk menghidupi partainya. Tentu dengan berbagai kompromi poltik. Salah satu bentuk kerja sama tersebut adalah dengan bagi-bagi kekuasaan dan akses keuangan. Maka jangan heran jika kemudian kasus century yang sudah sekian tahun umurnya tidak menemukan kejelasan nasib. Bahkan pihak oposisipun seakan diam tanpa perlawanan ketika aliran dana century tersebut mengalir ke kantong partai-partai pemenang pemilu dan yang berkoalisi. Meski hanya sebatas konklusi pandangan dari beberapa penyelidikan yang telah di lakukan, dikatakan diamnya parpol oposisi tersebut ditengarai karena partainya ikut merasakan aliran dana century tersebut. Pendapat demikian bisa dibilang cukup masuk akal mengingat partai oposisi biasanya mengambil keuntungan politik dengan mengungkap kasus-kasus yang menjelekkan partai pemenang pemilu. Apalagi menjelang pemilu legeslatif dan eksekutif pada tahun 2013 dan 2014. Ketidak Dewasaan Parpol Dari kasus dan analisa itulah kemudian saya memiliki pandangan yang buruk terhadap partai hingga menyalahkan seseorang yang terjun kesebuah partai politik. Sebab saya kira, terjadinya kasus seperti itu dilatar belakang oleh system partai kita yang masih belum dewasa. Salah satu bentuk ketidak dewasaan partai-partai Indonesia adalah tidak jelasnya peran dan fungsi dari partai pemenag pemilu dan yang berkoalisi serta partai-partai yang memilih posisi sebagai oposisi. Keduanya seharusnya menjalankan jalurnya masing-masing: pemenang pemilu menjalankan pemerintahan dengan baik, sedangkan partai oposisi meperbaiki kinerja pemerintah dengan cara kontroling. Ironisnya lagi, tindakan-tindakan kebanyakan kader partai yang mencerminkan suatu sikap tidak baik, misalnya dengan melakukan tindakan korupsi, menyalah gunakan jabatan atau selalu tidak hadir ketika rapat bagi anggota DPR dalam membahas tentang suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan rakyat. Padahal antara yang pemenang dan yang oposisi seharusnya saling menjaga nama baik dihadapan rakyat Indonesia untuk menjaga kredibilitas partainya. Akan tetapi kenyataan yang ada malah menunjukkan suatu kenyataan bahwa partai-partai kita selalu memproduksi para politisi dan negarawan yang tidak berkualitas. Hanya sedikit kader partai yang benar-benar mumpuni dalam menjalankan amanat kenegaraan. Dan yang sedikit itu terproduksi karena kecelakaan dan biasanya akan menemui banyak kesulitan dalam menjalankan tugasnya, seperti kasus Lily Wahid dari partai PKB versi Muhaimin. Lihat saja kasus-kasus korupsi yang terjadi, kebanyakan dilakukan oleh kader partai, mulai dari Demokrat, PPP, PKB dan lainnya yang tidak akan muat dalam satu edisi surat kabar (koran) memuat daftar nama-nama kader partai yang melakukan tindakan yang tidak seharusnya di lakukan. Dalam kasus korupsi pun, KPK menerima lebih dari seribu laporan yang dalam istilah Jawa Pos Edisi 08 Januari 2012 di editorialnya diistilahkan Air Bah korupsi. Maka tidak salah jika kemudian banyak partai-partai dipandang negatif dengan disebut sebagai pabrik atau sarang dalam melahirkan para koruptor tangguh dan canggih. Sebuah image negetif yang mengancam partisipasi masyarakat dalam menumbuhkan semangat demokrasi karena ketidak percayaan terhadap partai-partai peserta pemilu. Tentu hal semacam itu menjadi preseden buruk terhadap keberlangsungan demokrasi kita. Sebab demokrasi bagaimanapu memerlukan partisipasi rakyat dalam menentukan siapakah pemimpin yang pantas untuk dijadikan sebagai pengemban amanat rakyat di pemerintahan demi mengawal demokrasi. Dan jika hal itu tidak segera dirubah secepat mungkin, jangan heran apabila partai politik yang buruk akan hancur dan beralih kepada independensi. Peristiwa semacam itu sudah terjadi di Jakarta. Jokowi yang bukan putra daerah asli tapi dengan track record yang baik mampu meraih simpati warga ketimbang calon incumbent. Para pengamat menganggap ini adalah gaya berpolitik masyarakat yang makin dewasa dengan memilih pemimpin berkualitas dan pantas untuk ditunjukkan di pentas kepemimpinan yang berkelas. Tidak seperti dulu yang lebih mengikuti partai pemberi uang saja. Sekarang rakyat tidak bisa dibeli. Sebab masyarakat mulai sadar bahwa hak suaranya akan menentukan nasib dirinya, keluarganya, tetangganya, desanya, kecamatannya, kabupatennya, propinsinya bahkan bangsanya, Indonesia tercinta. Maka dapat diambil kesimpulan tentang bagaimanakah nasib partai selanjutnya; nasib partai ada ditangannya sendiri. Bagi yang bisa memperbaiki diri dan berhijrah ke system yang lebih cerah, gairah kesuksesan akan di dapatkan dengan dukungan segenap masyarakan yang sudah berfikir lebih maju kedepan. Akan tetapi partai yang tidak berbenah diri, suatu hari nanti akan mati karena ditinggal pergi masyarakat ke partai yang lebih bernilai bagi masa depan kehidupan ini. Akhirnya, partai harus memilih mau menjadi partai yang terpilih atau partai yang tak diminati sama sekali. Menjadi yang terpilih dan yang tak diminati tentu memiliki jalannya masing-masing. Biarkan partai menempuh jalannya sendiri dan menanggung nasib yang telah dipilih.

0 komentar:

Posting Komentar