Setiap tanggal 22 Desember, kita Rakyat Indonesia turut serta
merayakan hari Ibu tinternasional. Tentu hal ini sebagai bentuk penghargaan dan
penghormatan kepada perempuan, Ibu yang telah mengandung manusia selama
Sembilan bulan hingga lahir ke dunia, Ibu yang menjadi manusia paling berjasa dalam
menjaga keberlangsungan kehidupan manusia di dunia sampai detik ini. Tanpanya,
mustahil sejarah manusia akan berlangsung sampai sekarang.
Dan jika di selami lebih dalam lagi, kita akan menemukan mutiara
pelajaran yang memiliki nilai yang mendalam, misalnya tentang kecintaan kita
terhadap Ibu pertiwi, Indonesia. Dan dalam tulisan pendek ini, penulis ingin
mencoba untuk menghubungkan hari Ibu ini dengan nilai-nilai pendidikan. Tentu
hal ini dimaksudkan untuk memperoleh nilai lebih dari hari Ibu yang selalu kita
rayakan setiap tanggal 22 Desember. Sebab selama ini kita hanya sekedar
melakukan acara seremonial dan hanya tentang perempuan tanpa meghubungkan
dengan permasalahan krusial bangsa lainnya, seperti dalam pendidikan.
Tulisan pendek ini kemudian menemukan momentumnya sebab pada saat
ini, menteri pendidikan kita, M. Nuh akan menerapkan system baru dalam dunia
pendidkan nasional. Semoga saja system itu bisa melahirkan manusia-manusia yang
diharapkan, seorang anak bangsa yang mampu mengharumkan bangsanya dimata
bangsanya sendiri dan bangsa-bangsa lain di dunia.
Melihat kembali sejarah Indonesia yang ditayangkan lewat buku-buku,
kita akan disuguhkan sebuah fakta menarik bahwa antara perempuan dengan
pendidikan memiliki nilai historis yang cukup lekat.
Salah satunya seperti dicontohkan oleh tokoh sejarah bangsa
Indonesia, Kartini yang kita kenal sebagai tokoh emansipatoris perempuan
nasional. Juga seperti Cut Nyak Dien yang melulu ditokohkan sebagai pahlawan
dari kalangan perempuan yang memperjuangkan pembebasan bangsa dari penjajahan
bangsa asing. Padahal kedua tokoh ibu tadi juga ikut andil dalam hal pendidikan:
bagaiman pendidikan seharusnya dijalankan dan diberikan kepada seseorang.
Pada hakikatnya, Pendidikan adalah proses untuk memanusiakan
manusia: dari yang awalnya tidak tahu apa-apa, bisa menjadi tahu layaknya
manusia yang telah diberi kemampuan fikiran untuk memiliki ilmu pengetahuan
sebagai penunjang kehidupan yang penuh peradaban. Sehingga dengan tempaan
pendidikan dan pengetahuan yang didapatkan, bisa membuat sesorang menjadi
manusia seharusnya. Bukan manusia seperti hewan yang tidak berpengetahuan,
akal-fikiran perasaan.
Itulah nilai pendidikan yang dilakukan oleh tokoh perempuan kita
itu: melawan tindakan yang tidak manusiawi dan memanusiakan manusia yang
diperlakukan seperti bukan manusia layaknya. Memperjuangkan kemerdekaan dari
semua bentuk penjajahan agar dapat berkreasi dalam kehidupan; membebaskan dari
semua ketertekanan dan belenggu sistem budaya dan penjajah belanda pada masa
itu.
Namun yang terjadi selama ini malah tidak mencerminkan proses
memanusiakan manusia, melainkan menjadikan manusia layaknya burung yang harus
tahu berbunyi ini dan itu seperti yang diharapkan pemiliknya. Karena akan
membuat harga burungnya menjadi mahal dan menguntungkan. Bahasa gampangnya,
pendidikan kita tidak membebeskan, tapi penuh pemaksaan. Dan segala bentuk
pemaksaan itu tidak mencerminkan manusia beradab.
Kenapa penulis mengatakan seperti itu??? Karena memang demikian
kenyataan yang kita saksikan dan rasakan: bagaiman kemudian pemerintah dengan sistemnya
mengharuskan peserta pendidikan harus menguasai mata pelajaran ini sehingga
bisa lulus dan bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Tidak pernah
pemerintah membiarkan peserta didik untuk mendalami minat dan kemampuannya.
Karena meskipun seorang peserta mampu menulis karya tulis, pintar dalam pelajaran
agama, cerdas dalam berbisnis, dan bisa sukses menjadi pemimpin di organisasi
yang diikuti misalanya, namun tidak bisa mengikuti system atau tidak memiliki
pengetahuan yang diwajibkan pemerintah, maka kemampuan dan keilmuan tadi seakan
tidak memiliki arti. Artinya, peserta pendidikan tersebut dinilai belum mampu
untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat diatasnya. Ironis sekali bukan?!!
Kembali pada hari ibu yang kita rayakan setiap tanggal 22 Desember,
pantaslah jika kita belajar pada sesosok perempuan bernama Ibu, sosok perempuan
seperti Cut Nyak Dien dan Kartini yang melakukan gerakan memanusiakan manusia,
gerakan pembebasan kreasi dan sebagainya yang merupakan hakikat nilai
pendidikan.
Selain itu, semangat keibuan juga harus menjadi spirit dalam dunia
pendidikan nasional: Ibu yang penuh kasih-sayang, ibu yang tidak memaksakan,
ibu yang tidak memiliki kepentingan terhadap anaknya dan Ibu yang memiliki
keinginan yang terbaik buat buah hatinya. Jika demikian, maka tidak ada lagi
perubahan kebijakan dalam dunia pendidikan Karena perubahan mentrinya. Karena
setiap mentri yang selalu bergonta-ganti itu akan disatukan dalam visi dan misi
yang sama; demi kemajuan pendidikan bangsa Indonesia.
Jika semangat keibuan kita
cangkokkan pada dunia pendidikan, harapan Indonesia memiliki banyak tokoh dalam
ilmu pengetahuan tinggal menunggu giliran: Kita akan punya penulis Novel,
Puisi, tokoh matematika, tokoh filsafat dan tokoh-tokoh lainnya bertaraf dunia.
Akhirnya Indonesia bisa berdiri bangga
diantara bangsa-bangsa. Semoga!!!
Maka, marilah kita kaji kembali apakah sistem pendidikan yang baru
itu sudah memberikan ruang luas untuk tempat berkreasi anak-anak bangsa atau
masih saja tetap penuh pemaksaan.
Pada hari ibu pada kesempatan tahun ini kita jadikan ajang refleksi,
selain untuk menghormati semua perempuan, baik yang akan, sedang dan telah
menjadi ibu, juga sebagai refleksi bagaimanakah pendidikan kita seharusnya
dilaksanan. Selamat merayakan hari Ibu. Sukses selalu untuk semua perempuan
yang akan, sedang dan telah selesai menjadi Ibu.
0 komentar:
Posting Komentar