Pada
tahun 1998 Gelombang demonstrasi dari hari ke hari telah melahirkan istilah “reformasi”
diberbagai lini, terutama dalam pemerintahan. Soeharto yang kala itu menjadi
simbol pembajak demokrasi melalui kekuatan subversifnya selama tiga puluh dua
tahun harus bertekuk lutut pada kekuatan rakyat yang dulunya diinjak-injak.
Lahirlah
reformasi yang diharapkan menjadi orang tua dari demokrasi dan pemerintahan
yang bebas korupsi. Karena sebelumnya, sistem kenegaraan dan kepemimpinan orde
baru hanya mampu melahirkan demokrasi yang prematur, tidak sehat lalu berakibat
pada kematian yang mengenaskan.
Akibat
kematian demokrasi pada masa orde baru, pemerintah masa itu menjadi penguasa
tunggal tanpa kontrol dari rakyat sebagai jasad demokrasi. Maka terjadilah apa
yang difirmankan Lord Acton, guru besar sejarah modern Universitas Cambridge
Inggris abad 19, kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut (absolute
power corrupt absolutely).
Bergulirlah
demokratisasi yang bisa dimaknai sebagai perawatan demokratisasi yang lahir
dalam keadaan prematur. Perawatan tidak berjalan maksimal. “Demokrasi tetap
sakit” dengan berbagai bukti konkrit seperti masyarakat yang hanya dijadikan
penonton dalam berbagai kebijakan pemerintahan, tanpa kekutan untukmerumuskan
kebijakan pemerintahan yang sesuai dengan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Mungkin,
demonstrasi pada tahun 1998 hanya melahirkan “istilah reformasi” dan reformasi
ternyata juga ‘sukses’ membuat “istilah demokrasi.” Kedua istilah itu tumbuh subur
dan sering diucapkan orang-orang dari banyak kalangan.
Namun,
istilah hanyalah istilah, hanya sekedar penamaan saja. What’s in a name? That we call a rose by
any other name would smell as sweet (Apalah arti
sebuah nama? Meskipun kita menyebut mawar dengan nama lain, wanginya akan tetap
harum,"), kata William Shakespeare.
Begitulah
istilah reformasi dan demokrasi di negri ini. Meski mengklaim sebagai negara
demokratis setalah melakukan reformasi, hal tersebut hanyalah sekedar penamaan
yang miskin pemaknaan: ”Apalah arti sebutan negara demokratis jika roh
demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat menjadi dari rakyat oleh
pejabat dan untuk pejabat!”
Realita
pemerintahan yang dari rakyat, oleh pejabat dan untuk pejabat tentu itu bukan
demokrasi namanya. Sebab, demokrasi adalah yang dari rakyat,oleh rakyat dan
untuk rakyat. Entah apa namanya jika seperti itu, mungkin juga bernama
demokrasi namun demokrasi tanpa hati nurani.
Mungkin
itu demokrasi produk -- meminjam istilah Cak Nun -- manusia keturunan Nabi Nuh saat istrinya
kemasukan iblis. Yang dimaksud dengan manusia keturunan nabi Nuh saat istrinya
kemasukan iblis adalah manusia Indonesia. katanya, para koruptor yang kena
tangkap kemudian memakai kopiyah atau kerudung itu tanda manusia Indonesia
keturunan Nabi Nuh saat istrinya kemasukan iblis, katanya.
Reformasi
dan kemudian Demokasi sampai saat ini hanya istilah yang tidak tuntas kalah
pada realitas.
Sedangkan
korupsi, menjadi makhluk abadi, tidak pernah mati melenggak lenggok dengan
santainya karena hukum tak mampu menindaknya. Korupsi selalu mampu berevolusi
menyesuaikan dengan keadaan. Cerdas!
Dulu,
korupsi diam-diam masuk dalam sistem karena sistem pemerintaha masa itu
tertutup. Sekarang, korupsi terang-terangan karena sistem “keterbukaan” yang
dianut pemerintahan. Korupsi mampu beradaptasi.
Tidak
seperti reformasi dan demokrasi yang tak mampu “mengada,” korupsi bisa menjaga
eksistensinya. Kecerdasan dan kemampuan korupsi beradaptasi dan bereksistensi
mungkin karena faktor umur.
Dalam
konteks Indonesia, korupsi lebih dahulu lahir dari pada reformasi dan
demokrasi. Reformasi dan demokrasi atau tepatnya demokratisasi baru lahir pada
Mei tahun 1998. Sedangkan korupsi – kalau kita mau positif thingking –
dilahirkan ketika Soeharto berkuasa beberapa puluh tahun silam. Faktor umur
tersebut mempengaruhi bagaimana mereka hidup di negri ini: yang lebih tua,
otomatis lebih berpengalaman sehingga banyak memiliki pengetahuan dalam mengarungi “kehidupan.”
Reformasi
menginjak umur yang ke-16, begitupun dengan wacana demokratisasi. Namun tak ada
hasil maksimal, mungkin karena terlalu muda. Sedangkan korupsi dengan umur
berpuluh tahun tetap eksis dalam aktivitas kenegaraan. Atau juga karena
reformasi dan demokratisasi itu masih terlalu muda untuk berani mengkritik
korupsi atau bahasa sopannya, sungkan.
Jika
demikian halnya, korupsi akan selalu unggul dari pada reformasi dan demokrasi
yang masih bau kencur itu. Artinya, dinegri ini Korupsi bisa jadi akan jadi
penguasa selama-lamanya.
Kondisi
seperti itu seperti sepotong cerita yang kembali terjadi. Bedanya, dulu,
korupsi bersifat sentralistik, sekarang desentralistik. Dulu korupsi dilakukan
oleh Raja dan anak buahnya, sekarang PNS golongan rendah seperti Gayus Tambunan
mengkorupsi miliaran rupiah.
Tentu,
kondisi demikian mengundang reaksi dari rakyat Indonesia. diperparah dengan
pengurangan subsidi BBM, telah mengundang reaksi beberapa elemen bangsa seperti
mahasiswa dan buruh dari berbagai daerah turun ke jalan melakukan demonstrasi
penolakan kebijakan tersebut.
Demonstrasi
untuk yang kesekian kali. Entah apakah reformasi jilid dua lalu demokratisasi kedua
atau memilih jalan yang lebih radikal, Revolusi! Ya, Revolusi!
Menurut
cak Nun, peluang Revolusi Indonesia sangatlah besar. Karena nyatanya, manusia-Indonesia
itu paling revolusioner dimuka bumi. Salah satu contoh revolusionernya jiwa
Indonesia adalah beraninya mereka menderita dalam penindasan kebijakan
pemerintahan. Contoh ke dua bisa dilihat dari mayoritas politisi dalam sisitem
pemerintahan yang sangat kuat sekali menahan rasa malu atas kesalahan yang
dilakukan: sudah jelas tertangkap sebagai maling negara, masih saja senyum sana-sini
sambil melambaikan tangan seperti tanpa kesalahan.
Jika
Revolusi itu terjadi, apapun jalan yang ditempuhnya, maka nasib seperti
Revolusi saya ramalkan akan mengalami nasib yang sama dengan istilah reformasi
dan demokrasi yang kalah bersaing dengan Korupsi dengan pengikut yang banyak
sekali!
Berita bagus nich
BalasHapus